Note: Harap membaca postingan ini dengan seksama dan dengan kepala dingin. Silahkan berkomentar dan berdiskusi sebebasnya tanpa mengesampingkan norma yang ada dan berlaku. Segala komentar yang bernada negatif dan diskriminatif akan segera saya hapus. Saya bukan pendukung, pun bukan penggiat LGBT+. Semua ini murni hasil renungan dan pemikiran saya.
Butuh waktu berhari-hari bagi saya hingga akhirnya saya berani menuliskan ini. Butuh keberanian yang cukup untuk saya akhirnya bercerita tentang ini. Saya sadar ini topik yang cukup sensitif untuk budaya Indonesia yang ketimuran, pun saya tidak ingin menyinggung pihak-pihak tertentu. But yeah, here comes the story
Beberapa waktu yang lalu, saya ingat benar hari itu saya ada kuliah pagi, sekitar jam 8, tiba-tiba notifikasi line saya muncul, menampilkan sebuah pesan dari teman saya yang terpisah selat sunda:
"Guys, I love you all, tapi aku mau bilang sesuatu: AKU GAY"
Manusia normal mana yang gak kaget, pagi-pagi sudah dapat pesan seperti itu. Selama beberapa menit saya hanya terdiam menatap pesan itu. Fokus saya teralihkan dari materi presentasi yang ada di depan kelas. Berusaha positif, saya membalas pesan teman saya tersebut.
"Kamu lagi main truth or dare?"
Iya, saya berpikir teman saya (yang kadang isengnya memang keterlaluan) ini sedang main truth or dare dan ditantang mengirim pesan seperti itu. Tapi balasan teman saya membuat semuanya berbeda
"Gak, aku beneran coming out. AKU BENERAN GAY"
Lagi-lagi butuh waktu beberapa menit bagi saya untuk mencerna pesan ini. Teman saya gay, pelaku homoseksual, sesuatu yang sepanjang pengetahuan saya tidak dibenarkan dalam agama saya, pun tidak dibenarkan dalam pandangan norma yang berlaku di negara ini. Berbagai pemikiran negatif mulai muncul di benak saya. Lantas sebuah pertanyaan pun bergema, apakah saya akan memutuskan pertemanan dengan teman saya karena dia dengan jujur mengakui kepada saya kalau dia gay?
Saya memutuskan untuk membuka percakapan dengan teman saya ini
Awin (A): Kamu serius?
Teman (T): Iya, serius
A: Kamu yakin kamu beneran gay?
T: 101%
A: Tapi agama kita gak membenarkan homoseksualitas
T: It's on my risk
A: You wanna go to a psychologist? Aku bisa minta rekomendasi ke dosenku
T: No. Aku gak butuh ke psikolog. Aku yakin ini sesuatu yang benar
A: It's not right to our norms and society, but how could I say. Aku bukan pendukung LGBT+
T: Terus kamu gak mau temenan sama aku lagi karena aku gay?
A: Aku gak bilang gitu juga. Maksudku, aku gak mendukung keputusan kamu menjadi gay. Aku malah pengen menyeretmu ke psikolog. Tapi itu keputusan kamu, aku menghormatinya.
T: So we still friends?
A: We still friends. Sampe bosan. Makasih udah jujur sama aku. But remember that I'm not supporting you on being gay. Resiko tanggung sendiri.
Yah, kira-kira begitu. Tentu saja ini tidak 100% sama dengan percakapan aslinya, tapi begitulah intinya. Teman saya gay. Entah bagaimana reaksi keluarga dan lingkungannya selain saya, saya tidak tahu. Saya hanya bisa berdoa teman saya kembali ke jalan yang benar, atau setidaknya mau menemui psikolog.
Ini terjadi beberapa waktu yang lalu. Hari ini, saya mendengar kampus saya mengeluarkan peraturan yang menolak mahasiswa LGBT+ (note: informasi terakhir yang saya dapat, berita ini sudah dihapus dari laman website universitas). Sesuatu yang baru, tentu saja, dan menimbulkan pro dan kontra. Lantas saya berpikir, apakah dengan menjadi gay seseorang lantas kehilangan haknya untuk mengenyam pendidikan? Bukankah ini diskriminatif?
Tidak seperti di Amerika, LGBT tidak dipandang baik di negara kita, begitu juga di kampus saya yang berada di Ranah Minang, tanah yang menjunjung tinggi norma keislaman, adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Meski Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association tidak mencantumkan LGBT+ sebagai sebuah gangguan, LGBT+ yang merupakan minoritas jelas merupakan sebuah abnormalitas secara statistik dan norma sosial.
Kembali ke pertanyaan saya, apakah dengan menjadi gay seseorang kehilangan haknya mengenyam pendidikan? Bukankah itu menciderai UUD yang mencantumkan hak pendidikan bagi seluruh warga negara?
Saya bukan pendukung LGBT+, saya tetap memahami homoseksualitas sebagai sebuah penyimpangan, terutama terhadap norma agama, asusila, dan sosial yang berlaku di negeri ini. Tapi bagi saya, penyimpangan ini tidak lantas menjadi pembenaran bagi kita untuk bersikap diskriminatif. Dosen saya pernah berkata bahwa LGBT+, layaknya penyakit, adalah sesuatu yang harus diobati. Sebuah konseling (bahkan terapi jika dibutuhkan) sebaiknya diberikan kepada pelaku LGBT+, bukan untuk mendukung, tapi untuk meluruskan pemikiran mereka.
After all, saya berharap setelah ini bisa lebih bijak menghadapi hal-hal sensitif seperti ini. Saya berharap biro konseling (baik di kampus maupun luar kampus) bisa memberikan pelayanan kepada komunitas LGBT+, bukan untuk mendukung, namun untuk menjadikan mereka lebih baik. Saya juga berharap teman saya mau mengunjungi psikolog untuk mengkonsultasikan keadaannya sebagai gay.
Saya berharap, tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap komunitas LGBT+. Sebaliknya, mengapresiasi kejujuran mereka dengan mengarahkan mereka untuk menemui psikolog. Toh, bertemu psikolog bukan sesuatu yang menakutkan. Believe me, psikolog itu orangnya asik-asik!
FYI
Terminologi LGBT saat ini sudah berkembang menjadi LGBT+, sering juga disebut sebagai LGBTQ, yang terdiri dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Gender Queer/Gender Non Binary. Gender Queer/Gender Non Binary/Gender Non Conforming merujuk pada individu yang tidak mengidentifikasi dirinya baik sebagai laki-laki atau perempuan, kinda like somewhere in between (sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Genderqueer).